preman koq nangis...eiittt...preman juga manusia masbro...dan anehnya bukan bacaan telenovela percintaan yang membuat saya menangis,melainkan last note dari mantan Dirut PLN,Dahlan Iskan,salah satu sosok yg saya kagumi selain Joko Widodo [walikota Solo]...
ini saya copy mentah-mentah dari situs resmi PLN tadi sore...saya menganggap tulisan beliau cukup bagus,sehingga perlu saya abadikan dalam blog saya dan semoga menjadi inspirasi bagi yang lain...
 
                  
ini saya copy mentah-mentah dari situs resmi PLN tadi sore...saya menganggap tulisan beliau cukup bagus,sehingga perlu saya abadikan dalam blog saya dan semoga menjadi inspirasi bagi yang lain...
Inikah Kisah Kasih Tak Sampai?
 
                  Malam itu saya sudah di ruang tunggu  bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Siap berangkat ke Amsterdam, Belanda.  Tas sudah masuk bagasi. Saya cek lagi paspor untuk melihat dokumen  imigrasi. Semua beres. Saya pun siap-siap sebentar lagi boarding. Istri  saya sudah di Eropa tiga hari lebih dulu. Mendampingi anak sulung saya  yang menjabat Dirut Jawa Pos, yang menerima penghargaan dari persatuan  koran sedunia. Jawa Pos terpilih sebagai koran terbaik dunia tahun ini.
Saya pun kirim BBM kepada direksi PLN untuk memberitahu saat boarding  sudah dekat. “Kapan pulangnya, Pak Dis?,” tanya seorang direktur.  “Tanggal 21 Oktober. Setelah kabinet baru diumumkan,” jawab saya.“Ooh,  ini kepergian untuk nge-lesi ya,” guraunya.
Saya memang tidak kepingin jadi menteri. Saya sudah terlanjur jatuh  cinta dengan PLN. Instansi yang dulu saya benci mati-matian ini telah  membuat saya sangat bergairah dan serasa muda kembali. Bukan karena  tergiur fasilitas dan gaji besar, tapi saya merasa telah menemukan model  transformasi korporasi yang sangat besar yang biasanya sulit untuk  berubah. Saya juga tidak habis pikir mengapa PLN bisa berubah menjadi  begitu dinamis. Beberapa faktor terlintas di pikiran saya.
Pertama, mayoritas orang PLN adalah orang yang otaknya encer.  Problem-problem sulit cepat mereka pecahkan. Sejak dari konsep, roadmap  sampai aplikasi teknisnya. Kedua, latar belakang pendidikan orang PLN  umumnya teknologi sehingga sudah terbiasa untuk berpikir logis. Ketiga,  gelombang internal yang menghendaki agar PLN menjadi perusahaan yang  baik/maju ternyata sangat-sangat besar. Keempat, intervensi dari luar  yang biasanya merusak sangat minimal. Kelima, iklim yang diciptakan oleh  Menneg BUMN Bapak Mustafa Abubakar sangat kondusif yang memungkinkan  lahirnya inisiatif-inisiatif besar dari korporasi.
Lima faktor itu yang membuat saya hidup bahagia di PLN. Dengan modal  lima hal itu pula komitmen apa pun untuk menyelesaikan persoalan rakyat  di bidang kelistrikan bisa cepat terwujud. Itulah sebabnya saya berani  membayangkan, akhir tahun 2012 adalah saat yang sangat mengesankan bagi  PLN.
Pada hari itu nanti, energy mix sudah sangat baik. Berarti  penghematan bisa mencapai angka triliunan. Jumlah mati lampu sudah  mencapai standar internasional untuk negara sekelas Indonesia.  Penggunaan meter prabayar sudah menjadi yang terbesar di dunia. Ratio  elektrifikasi sudah di atas 75%. Propinsi-propinsi yang selama ini  dihina dengan cap “ayam mati di lumbung” sudah terbebas dari ejekan itu.  Sumsel, Riau, Kalsel, Kaltim, Kalteng yang selama ini menjadi simbol  “ayam mati di lumbung energi” sudah surplus listriknya.
Pada akhir tahun 2012 itu nanti, tepat tiga tahun saya di PLN,  saatnya saya mengambil keputusan untuk kepentingan diri saya sendiri:  berhenti! Saya ingin kembali jadi orang bebas. Tidak ada kebahagiaan  melebihi kebahagiaan orang bebas. Apalagi orang bebas yang sehat, punya  istri, punya anak, punya cucu dan he he punya uang! Bisa ke mana pun mau  pergi dan bisa mendapatkan apa pun yang dimau. Saya tahu masa jabatan  saya memang lima tahun, tapi saya sudah sepakat dengan istri untuk hanya  tiga tahun.
Niat seperti itu sudah sering saya kemukakan kepada sesama direksi.  Terutama di bulan-bulan pertama dulu. Tapi mereka melarang saya  menyampaikannya secara terbuka. Khawatir menganggu kestabilan internal  PLN. Mengapa? “Takut sejak jauh-jauh hari sudah banyak yang memasang  strategi mengincar kursi Dirut, ujarnya. “Bukan strategi memajukan PLN,”  tambahnya. “Lebih baik, selama tiga tahun itu kita menyusun perkuatan  internal agar sewaktu-waktu Pak Dis meninggalkan PLN kultur internal  kita sudah baik,” katanya pula.
Saya setuju untuk menyimpan “dendam tiga tahun” itu. Organisasi  sebesar PLN memang tidak boleh sering goncang. Terlalu besar muatannya.  Kalau kendaraannya terguncang-guncang terus bisa mabuk penumpangnya.  Kalau 50.000 orang karyawan PLN mabuk semua, muntahannya akan  menenggelamkan perusahaan.
Sepeninggal saya ini pun tidak boleh ada guncangan. Saya akan  mengusulkan ke Menteri BUMN yang baru untuk memilih salah satu dari  direksi yang ada sekarang, yang terbukti sangat mampu memajukan PLN.  Kalau di antara direksi sendiri ada yang ternyata berebut, saya akan  usulkan untuk diberhentikan sekalian. Tapi tidak mungkin direksi yang  ada sekarang punya sifat seperti itu.
Saya sudah menyelaminya selama hampir dua tahun. Saya merasakan tim  direksi PLN ini benar-benar satu-hati, satu-rasa, dan satu-tekad. Ini  sudah dibuktikan ketika PLN menerima tekanan intervensi yang luar biasa  besar, direksi sangat kompak menepisnya.
Kekompakan seperti itu yang juga membuat saya semakin bergairah untuk  bekerja keras mempercepat transformasi PLN. Saya menyadari waktu tidak  banyak. Keinginan untuk bisa segera menjadi orang bebas tidak boleh  menyisakan agenda yang menyulitkan masa depan PLN. Itulah sebabnya motto  PLN yang lama yang berbunyi “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”,  kita ganti untuk sementara dengan motto yang lebih sederhana tapi nyata:  Kerja! Kerja! Kerja!
Tanggal 27 Oktober 2011 nanti, bertepatan dengan Hari Listrik  Nasional, motto baru itu akan digemakan ke seluruh Indonesia. Kerja!  Kerja! Kerja! Sebenarnya ada satu kalimat yang saya usulkan sebelum kata  kerja! kerja! kerja! itu. Lengkapnya begini: Jauhi politik! Kerja!  Kerja! Kerja!
Tapi teman-teman PLN menyarankan kalimat awal itu dihapus saja agar  tidak menimbulkan komplikasi politik. Tentu saya setuju. Saya tahu,  berniat menjauhi politik pun bisa kena masalah politik!
Sudah lama saya ingin naik business class yang baru dari Garuda  Indonesia. Kesempatan ke Eropa ini saya pergunakan dengan baik. Toh  bayar dengan uang pribadi. Saya dengar business classnya Garuda sekarang  tidak kalah mewah dengan penerbangan terkenal lainnya. Saya ingin  merasakannya. Saya ingin membandingkannya. Kebetulan saat umroh Lebaran  lalu saya sempat naik business class pesawat terbaru Emirat A380 yang  ada bar-nya itu.
Sejak awal, sejak sebelum menjabat CEO PLN, saya memang mengagumi  transformasi yang dilakukan Garuda. Saya dengar di Singapura pun kini  Garuda sudah mendarat di terminal tiga. Lambang presitise dan  keunggulan. Tidak lagi mendarat di terminal 1 yang sering menimbulkan  ejekan “ini kan pesawat Indonesia,  taruh saja di terminal 1 yang paling  lama itu!”.
Beberapa menit lagi saya akan merasakan untuk pertama kali business  class jarak jauh Garuda yang baru. Saya seperti tidak sabar menunggu  boarding. Di saat seperti itulah tiba-tiba….“Ini ada tilpon untuk Pak  Dahlan,” ujar keluarga saya yang akan sama-sama ke Eropa sambil  menyodorkan HP-nya.Telpon pun saya terima. Saya tercenung. “Tidak boleh  berangkat! Ini perintah Presiden!” bunyi telpon itu. “Wah, saya kena  cekal,” kata saya dalam hati.
Mendapat perintah untuk membatalkan terbang ke Eropa, pikiran saya langsung terbang ke mana-mana.
Ke Wamena yang listriknya harus cukup dan 100% harus dari tenaga air  tahun depan. Ke Buol yang baru saya putuskan segera bangun PLTGB  (pembangkit listrik tenaga gas batubara) agar dalam 8 bulan sudah  menghasilkan listrik.
Ke PLTU Amurang yang tidak selesai-selesai.
Ke Flores yang membuat saya bersumpah untuk menyelesaikan PLTP  (pembangkit listrik tenaga panas bumi) Ulumbu sebelum Natal ini. Saya  tahu teman-teman di Ulumbu bekerja amat keras agar sumpah itu tidak  menimbulkan kutukan.
Pikiran saya juga terbang Lombok yang kelistrikannya selalu  mengganggu pikiran saya. Sampai-sampai mendadak saya putuskan harus ada  mini LNG di Lombok dalam waktu cepat. Ini saya simpulkan setelah kembali  meninjau Lombok malam-malam minggu lalu. Saya tidak yakin PLTU di sana  bisa menyelesaikan masalah Lombok dengan tuntas.
Pikiran saya terbang ke Bali membayangkan transmisi Bali Crossing yang akan menjadi tower tertinggi di dunia.
Ke Banten selatan dan Jabar selatan yang tegangan listriknya begitu rendah seperti takut menyetrum Nyi Roro Kidul.
Meski masih tercenung di ruang tunggu Garuda, pikiran saya juga  terbang ke Lampung yang enam bulan lagi akan surplus listrik dengan  selesainya PLTU baru dan geothermal Ulubellu.
Juga teringat GM Lampung Agung Suteja yang saya beri beban berat  untuk menyelesaikan nasib 10.000 petambak udang di Dipasena dalam waktu  tiga bulan. Padahal dia baru dapat beban berat menyelesaikan 80.000  warga yang harus secara massal pindah mendadak dari listrik koperasi ke  listrik PLN.
Pikiran saya juga terbang ke Manna di selatan Bengkulu. Saya kepikir  apakah saya masih boleh datang ke Manna tanggal 30 Desember, seperti  yang saya janjikan untuk bersama-sama rakyat setempat syukuran  terselesaikannya masalah listrik yang rumit di Manna.
Saya terpikir Rengat, Tembilahan, Selatpanjang, Siak dan Bagan Siapi-sapi yang saya programkan tahun depan harus beres.
Saya teringat Medan dan Tapanuli: alangkah hebatnya kawasan ini kalau  listriknya tercukupi, tapi juga ingat alangkah beratnya persoalan di  situ: proyek Pangkalan Susu yang ruwet, ijin Asahan 3 yang belum keluar,  PLTP Sarulla yang bertele-tele dan bandara Silangit yang belum juga  dibesarkan.
Pikiran saya terus melayang ke Jambi yang akan jadi percontohan  penyelesaian problem terpelik system kelistrikan: problem peaker. Di  sana lagi dibangun terminal compressed gas storage (CNG) yang kalau  berhasil akan jadi model untuk seluruh Indonesia. Saya ingin sekali  melihatnya mulai beroperasi beberapa bulan lagi. Masihkah saya boleh  menengok bayi Jambi itu nanti?
Juga ingat Seram di Maluku yang harus segera membangun mini hidro.  Lalu bagaimana nasib program 100 pulau harus berlistrik 100% tenaga  matahari. Ingat Halmahera, Sumba, Timika…..
Tentu saya juga ingat Pacitan. PLTU di Pacitan belum menemukan jalan  keluar. Yakni bagaimana mengatasi gelombang dahsyat yang mencapai 8  meter di situ. Ini sangat menyulitkan dalam membangun breakwater untuk  melindungi pelabuhan batubara.
Dan Rabu 23 Oktober lusa saya janji ke Nias. Dan bermalam di situ.  Empat bupati di kepulauan Nias sudah bertekad mendiskusikan bersama  bagaimana membangun Nias dengan lebih dulu mengatasi masalah listriknya.
Yang paling membuat saya gundah adalah ini: saya melihat dan  merasakan betapa bergairahnya seluruh jajaran PLN saat ini untuk bekerja  keras memperbaiki diri. Saya seperti ingat satu persatu wajah  teman-teman PLN di seluruh Indonesia yang pernah saya datangi.
Dengan pikiran yang gundah seperti itulah saya berdiri. Mengurus  pembatalan terbang ke Eropa. Menarik kembali bagasi, membatalkan  boarding, mengusahakan stempel imigrasi dan meninggalkan bandara.
Hati saya malam itu sangat galau. Saya sudah terlanjur jatuh cinta  setengah mati kepada orang yang dulu saya benci: PLN. Tapi belum lagi  saya bisa merayakan bulan madunya saya harus meninggalkannya.
Inikah yang disebut kasih tak sampai?
Dahlan Iskan 
CEO PLN







 
 home
home
 contact
contact