Yusril Membuat Hendarman 'Dipecat'



VIVAnews - Upaya mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menggugat jabatan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung di Mahkamah Konstitusi berhasil. Mahkamah memutuskan mulai Rabu, 22 September,  jabatan Hendarman sebagai Jaksa Agung tidak sah.

"Seluruh tindakan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung sampai 14.30 WIB. Putusan yang dibuat setelah itu tidak sah," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Rabu 22 September 2010. "Kami ketok putusan tetap. Artinya Jaksa Agung harus berhenti sejak  14.30," kata Mahfud.

Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai, “Masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.

Atas putusan MK itu, Hendarman enggan berkomentar banyak. Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus itu menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Saya akan menunggu putusan Bapak Presiden. Pemberhentian dan pengangkatan kan oleh Bapak Presiden," kata Hendarman di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu 22 September 2010. "Itu kan hak prerogatif presiden."

Meski demikian, Hendarman akan tetap melihat terlebih dahulu putusan MK yang 'memberhentikan' dirinya. "Itu kan keterangan MK. Saya akan lihat juga pertimbangan dalam putusan itu. Tapi pada prinsipnya, saya menunggu keputusan Presiden," ujarnya.

Kalau secara pribadi apakah siap dengan putusan MK itu? "Saya siap saja sebagai prajurit," ujarnya.
Hendarman pun menegaskan, besok akan tetap ke kantor. Namun, dia tidak akan membuat kebijakan yang strategis. "Keputusan strategis diserahkan ke Wakil Jaksa Agung Darmono."

Di lain pihak, Yusril menyambut gembira atas putusan MK. "Walaupun putusan itu mulai berlaku sejak hari ini, sejak diucapkan dan berlaku prospektif, itu tidak soal. Karena yang penting jabatan Jaksa Agung adalah jabatan terbatas, diangkat oleh Presiden di awal masa jabatan Presiden dan diakhiri pada saat berakhirnya masa jabatan Presiden itu," kata Yusril usai sidang di MK.

Yusril pun menegaskan, mulai hari ini Hendarman tidak sah sebagai Jaksa Agung karena tidak ada surat keputusan pengangkatan kembali sebagai Jaksa Agung. "Maka SBY harus segera melantik Jaksa Agung yang baru hari ini juga untuk mencegah kekosongan jabatan tersebut," ujar mantan Menteri Sekretaris Negara itu.

Namun demikian, raut air muka Yusril berubah drastis tatkala ditanya seputar proses hukumnya di kejaksaan. "Yang penting bagi saya, yang lain-lain dapat saya terima dan saya sangat menghargai, mengapresiasi keputusan MK. Walaupun bahasanya mendayu-dayu tapi keputusan Mahkamah Konstitusi ini sangat penting dan menjadi pelajaran bagi semua, bagi Presiden yang mengangkat Jaksa Agung. Pelajaran bagi kita semua bahwa suatu tindakan itu haruslah berdasarkan atas hukum," katanya.

Dari pihak Istana, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Denny Indrayana, menyatakan menghormati keputusan MK itu. Namun, Denny menilai, Hendarman masih sah menjadi Jaksa Agung. "Jaksa Agung masih Hendarman Supandji," kata Denny.

Denny melihat putusan MK justru memperjelas masa jabatan dan legalitas Hendarman Supandji. "Di situ (putusan MK) dengan terang benderang dan bahasa jelas tidak ada masalah dengan legalitas Jaksa Agung," kata dia.

Hal senada juga disampaikan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Menurutnya, Hendarman masih sah menjadi Jaksa Agung hingga ada keputusan presiden.

Sudi beralasan, undang-undang menyatakan yang mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung adalah Presiden. "Kedua, dalam putusan MK, tidak ada (kata) memberhentikan Jaksa Agung mulai kapan pun itu," kata Sudi.

"Jadi, kalau ada pembicaraan di luar, pembicaraan itu tidak bisa kita rujuk sebagai suatu keputusan memberhentikan Jaksa Agung," ujar Sudi. "Pembicaraan di luar" yang dimaksud Sudi tentu merujuk pada pernyataan Ketua MK Mahfud MD usai sidang yang menyatakan "Seluruh tindakan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung sampai 14.30."

"Oleh sebab itu, apa pun keputusannya itu, nanti pemberhentian Jaksa Agung itu adalah dengan Keputusan Presiden, bukan pembicaraan. Karena di dalam keputusan MK, tidak ada yang menyatakan memberhentikan jabatan Jaksa Agung," kata Sudi.

Jadi, Hendarman masih Jaksa Agung? "Masih Hendarman Supandji sampai ada keputusan pemberhentian dari Presiden," kata Sudi dengan tegas menjawab.

*****
Dalam permohonannya, Yusril meminta penafsiran Mahkamah Konstitusi atas Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Yusril mendalilkan bahwa tindakan atau kebijakan Jaksa Agung Hendarman Supandji harus dinyatakan tidak sah atau ilegal karena jabatan yang disandangnya cacat hukum atau tidak sah.

Yusril pun kemudian mengajukan permohonan adanya putusan provisi agar MK memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menghentikan atau menunda penyidikan kasus dugaan korupsi sistem administrasi badan hukum yang diduga menjeratnya.

Terhadap permohonan putusan provisi, Mahkamah menyatakan tidak dapat dikabulkan. Mahkamah menilai permohonan itu tidak tepat menurut hukum karena tidak terkait langsung dengan permohonan utama.

Mahkamah beralasan, bahwa putusan MK hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti penyidikan atau pencegahan dalam kasus pidana terhadap Yusril. "Karena permohonan Pemohon sudah masuk ke kasus konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya," jelas Majelis Konstitusi.

Mengenai permohonan Yusril, MK menilai bahwa fungsi kejaksaan sebagai institusi tidak selalu bergantung pada fungsi Jaksa Agung sebagai pejabat. Sehingga seumpama pun jabatan Jaksa Agung tidak sah, maka tidak dengan sendirinya penyidikan dan pencegahan oleh institusi Kejaksaan menjadi tidak sah. Sebab tugas penyidikan adalah tugas fungsional kejaksaan yang bersifat permanen.

Lebih dari itu, seumpama pun di luar masalah keabsahan jabatan Jaksa Agung, dalam kasus-kasus tertentu, ada indikasi ketidakabsahan atau ilegalitas dalam penyidikan maka forum hukumnya berada di luar kompetensi Mahkamah.

Pertimbangan selanjutnya, MK menilai bahwa dalam praktik ketatanegaraan yang berlangsung selama ini, penetapan masa jabatan telah digunakan dalam beberapa jabatan publik. Contohnya adalah Presiden dan Wakil Presiden, anggota Komisi Yudisial, dan Hakim Konstitusi, yang memiliki masa jabatan lima tahun.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah tidak setuju dengan keterangan dari ahli yang diajukan oleh pemerintah seperti Denny Indrayana dan Achmad Roestandi. Dua ahli itu menyatakan bahwa jabatan Jaksa Agung dapat saja berlangsung seumur hidup.

Menurut Mahkamah, pandangan tersebut tidak tepat, karena menurut prinsip demokrasi dan konstitusi untuk setiap jabatan publik harus ada batasan tentang lingkup kewenangan dan batas waktunya yang jelas dan pasti, apalagi jabatan dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan seperti jabatan Jaksa Agung.

Mahkamah justru lebih setuju dengan ahli-ahli yang diajukan oleh Yusril seperti mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, mantan Hakim Konstitusi Laica Marzuki dan HAS Natabaya.

"Mahkamah sependapat dengan para ahli tersebut, jika Jaksa Agung yang diangkat dalam jabatan politik setingkat Menteri maka masa jabatannya harus sudah berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, sedangkan apabila Jaksa Agung diangkat berdasarkan karirnya sebagai jaksa maka masa tugasnya harus berakhir pada saat mencapai usia pensiun," urai majelis.

MK pun akhirnya mengabulkan permohonan Yusril mengenai masa jabatan Hendarman. MK menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.

MK juga menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.


******

Putusan MK itu ternyata tidak diamini oleh sembilan Hakim Konstitusi. Dua Hakim Konstitusi, Achmad Sodiki dan Harjono, mengajukan dissenting opinion (mengajukan pendapat berbeda).

Hakim Konstitusi, Achmad Sodiki, menjelaskan masa jabatan Jaksa Agung sebenarnya sudah tercantum dalam Pasal 19 UU Kejaksaan yang menyebut 'Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden'. "Jarak antara diangkat dan diberhentikan itulah masa jabatan Jaksa Agung," kata Achmad Sodiki.

Menurutnya, meski Jaksa Agung juga adalah pembantu Presiden, namun jabatan itu tidak dapat disamakan dengan menteri. "Seorang jaksa agung tidak mengenal demisioner. Ia tetap menjalankan jabatannya tidak kurang dan tidak lebih sewaktu para menteri didemisionerkan," jelasnya.

"Yang menjadi masalah adalah apakah setelah masa jabatan Presiden berakhir, ia juga berakhir jabatannya? Jika ia tidak berakhir apakah menimbulkan ketidakpastian hukum?" ujarnya.

Mengenai pengangkatan Jaksa Agung yang harus melalui Keputusan Presiden, Sodiki menjelaskan, bahwa hal itu berlaku dari terbitnya Keppres Pengangkatan Jaksa Agung hingga terbitnya keppres baru tentang pemberhentiannya.

Selain itu, Sodiki menilai, Jaksa Agung tidak akan mungkin menolak jika diberhentikan dari jabatannya. "Tidak pernah ada praktek ketetanegaraan di Indonesia selama ini bahwa Jaksa Agung tidak mau diberhentikan oleh Presiden. Sebab memang Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden."

"Selama aturannya belum berubah ke depan saya percaya tidak akan ada Jaksa Agung yang menolak diberhentikan oleh Presiden, walaupun masa jabatannya tidak diatur secara ketat dalam undang-undang. The life of law has not always been logic, it has been experience," tambahnya.

Perbedaan pendapat serupa juga disampaikan Hakim Konstitusi, Harjono. Menurutnya, jabatan Jaksa Agung termasuk dalam apa yang disebut sebagai "political appointees" oleh Presiden atau disebut sebagai hak prerogatif Presiden.

"Berdasarkan atas ajaran pembagian kekuasaan, fungsi dan tugas Jaksa Agung masuk dalam rumpun eksekutif. Oleh karenanya, sangatlah tepat kalau jabatan Jaksa Agung termasuk jabatan political appointees dari Presiden. Sebagai perbandingan tentang kedudukan dan masa jabatan, Jaksa Agung di Amerika Serikat," kata Harjono.

Meski demikian, Harjono mengakui bahwa seorang pejabat itu harus ada akhir masa jabatannya. Namun, jabatan Jaksa Agung memiliki kekhususan yakni di bidang hukum.

Karena kekhususan tugas dan kewenangannya, dia melanjutkan, maka tidak secara serta merta jabatan Jaksa Agung harus berakhir bersama-sama dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkatnya. Namun,  akan berakhir pada saat telah ditunjuk dan diserahterimakan jabatan kepada pengganti Jaksa Agung yang baru.

Harjono menjelaskan, hal tersebut dilakukan untuk menghindari kekosongan jabatan Jaksa Agung. Karena, Jaksa Agung diberi kewenangan atributif oleh undang-undang yang tidak dapat digantikan oleh orang lain dan kewenangan tersebut sangat penting dalam rangka penegakan hukum.
• sumber :VIVAnews                                 

yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah,mampukan SBY bersikap jantan dan tidak lebay?


sampah artikel lainnya:

~new comments~

~archive~

Make Your Own by widodo